Kerawang Gayo
Kerawang Gayo adalah kerajinan bordir masyarakat Gayo, Aceh
Tengah. Bordir Kerawang Gayo memiliki
corak yang khas, dimana mempunyai makna filosofi yang dalam dari setiap ukiran
dan bentuknya. Bordir Kerawang Gayo ini sering dipakai untuk hiasan dinding,
alas meja, motif pakaian , tas dan lain sebagainya. Motif Kerawang Gayo tidak
hanya diminati masyarakat lokal saja, namun daerah Aceh lainnya juga banyak
mencari motif ini. Bahkan wisatawan dari luar daerah Aceh juga menyukai
kerajinan yang menggunakan Kerawang Gayo ini.
Motif kerawang hanya terdiri dari
empat bagian, jikalau adapun tambahan lainnya sudah merupakan hasil dari
variasi. Adapun empat bagian itu adalah (1) Emun Berangkat (2) Pucuk Rebong (3)
Tapak Tikus dan (4) Tai Kukur.
- Emun Berangkat (Awan Berangkat) yang menyerupai huruf S sambung menyambung, putar berputar. Ini melambangkan perjuangan hidup dalam menempuh kehidupan. Suka duka, susah senang, sempit luas. Ada masa-masa tertentu yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan tidak ada jalan lurus, yang ada hanya liku-liku mendaki dan menurun. Itu merupakan pakaian hidup untuk berjuang
- Pucuk Rebung, menggambarkan bukit barisan atau segitiga sama kaki yang dijahit lurus-lurus dari pendek lebih panjang, lebih panjang lagi, lebih panjang lagi kemudian menurus beberapa kali. demikian berulang-ulang. ini menunjukkan kesatuan ikatan dalam masyarakat baik dalam kedudukan dan dalam hal keadaan. Ada yang rendah ada yang tinggi, ada yang kaya ada yang miskin. Semua bersatu padu.
- Tapak tikus dilambangkan sebagai bundaran bulat sebanyak empat buah diantara bundaran itu dipisahkan oleh garis, bundaran kecil ini agak rapat ke tengah. Ini menggambarkan sarak opat yaitu: reje, cing, imem dan petue.....
- Tai kukur menyerupai rantai melambangkan rakyat genap mufakat.
Sekarang ini kerawang sudah banyak
variarsi tambahan untuk memperindah dan terkadang melupakan makna yang
terkandung dari kerawang itu sendiri
Motif-Motif
Kerawang Gayo
Motif dasar dari
kerwang gayo yaitu ada empat jika adapun tambahan lainnya sudah merupakan hasil
dari variasi tambahan dari motif-motif modern bukan motif dasar dari kerawang
gayo itu sendiri, Adapun empat motif itu adalah
- Emun Berangkat (Awan Berangkat) yang menyerupai huruf S sambung menyambung, putar berputar. Ini melambangkan perjuangan hidup dalam menempuh kehidupan. Suka duka, susah senang, sempit luas. Ada masa-masa tertentu yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan tidak ada jalan lurus, yang ada hanya liku-liku mendaki dan menurun. Itu merupakan pakaian hidup untuk berjuang
- Pucuk Rebung, menggambarkan bukit barisan atau segitiga sama kaki yang dijahit lurus-lurus dari pendek lebih panjang, lebih panjang lagi, lebih panjang lagi kemudian menurus beberapa kali. demikian berulang-ulang. ini menunjukkan kesatuan ikatan dalam masyarakat baik dalam kedudukan dan dalam hal keadaan. Ada yang rendah ada yang tinggi, ada yang kaya ada yang miskin. Semua bersatu padu.
- Tapak tikus dilambangkan sebagai bundaran bulat sebanyak empat buah diantara bundaran itu dipisahkan oleh garis, bundaran kecil ini agak rapat ke tengah. Ini menggambarkan sarak opat yaitu: reje, cing, imem dan petue.
- Tai kukur menyerupai rantai melambangkan rakyat genap mufakat.
Seni budaya
Suatu unsur budaya
yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir
tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian
Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut
didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai
fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan
keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk
kesenian Seperti: Tari Bines, Tari Guel, Tari Munalu, sebuku (pepongoten), guru
didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak
terlupakan dari masa ke masa, karena Orang Gayo kaya akan seni budaya.
Kubur Tradisional
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah
nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin,
kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini
dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang
mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini
diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi,
kesenian, kekerabatan dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah
agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo
SUKU GAYO
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih. Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih. Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
PERSEBARAN
Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih.Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.
Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih.Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.
BAHASA
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Lut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, dialek Blang Di Kabupaten Gayo Lues, Kalul di Kabupaten Aceh Tamiang, dan Lokop di Serbe Jadi Kabupaten Aceh Timur.
Bahasa Gayo (Pengucapan: GayĆ“) adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Gayo di provinsi Aceh , yang terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kecamatan Serba Jadi di kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut “Northwest Sumatra-Barrier Islands” dari bahasa Austronesia.
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo” itu sendiri di Indonesia. Kita tidak bisa memisahkan bahasa Gayo dengan penuturnya “urang Gayo” dan sebaliknya. Sementara orang Gayo “urang Gayo” merupakan suku asli yang mendiami Aceh.[diragukan – diskusikan][rujukan?]Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan Tanoh Gayo (Tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah Provinsi Aceh.
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Lut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, dialek Blang Di Kabupaten Gayo Lues, Kalul di Kabupaten Aceh Tamiang, dan Lokop di Serbe Jadi Kabupaten Aceh Timur.
Bahasa Gayo (Pengucapan: GayĆ“) adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Gayo di provinsi Aceh , yang terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kecamatan Serba Jadi di kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut “Northwest Sumatra-Barrier Islands” dari bahasa Austronesia.
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo” itu sendiri di Indonesia. Kita tidak bisa memisahkan bahasa Gayo dengan penuturnya “urang Gayo” dan sebaliknya. Sementara orang Gayo “urang Gayo” merupakan suku asli yang mendiami Aceh.[diragukan – diskusikan][rujukan?]Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan Tanoh Gayo (Tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah Provinsi Aceh.
SISTEM
PEMERINTAHAN
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari:
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari:
* Reje
* Petue
* Imem
* Rayat
Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan,
dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan
cerdik pandai yang mewakili rakyat.* Petue
* Imem
* Rayat
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokalmatrilokal (angkap). (juelen) atau
Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan matapencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat matapencaharian yang rumit. Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini matapencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.
Di masa silam orang Gayo pernah
mengenal bahasan busana dari kulit kayu nanit, hasil tenunan sendiri dari bahan
kapas, dan bahan kain yang didatangkan dari luar daerah Gayo. Periode pemakaian
nanit sudah jauh dari ingatan orang sekarang, yang konon dipakai pada masa-masa
sulit di zaman kolonial Belanda atau masa sebelumnya. Kegiatan bertenun pun
sudah lama tak tampak dalam kehidupan mereka, kecuali pada masa pendudukan
balatentara Jepang di mana kehidupan serba sulit. Busana yang diperkenalkan di
sini dibatasi pada busana sub kelompok Gayo Lut yang berdiam di Kabupaten Aceh
Tengah. Uraian tentang busana atau pakaian ini termasuk unsur perhiasan atau
assesorisnya yang dikenakan dalam rangka upacara perkawinan, karena di luar
upacara itu tidak tampak. adanya ciri busana khas Gayo, lebih-lebih pada zaman
masa belakangan ini.Unsur-unsur pakaian pengantin wanita adalah baju, kain
sarung pawak, dan ikat pinggang ketawak. Unsur-unsur perhiasan adalah
mahkota sunting, sanggul sempol gampang, cemara, lelayang yang menggantung
di bawah sanggul, ilung-ilung, anting-anting subang gener clan subang ilang,
yang semuanya itu ada di seputar kepala. Di bagian leher tergantung kalung
tangang terbuat dari perak atau uang perak tangang ringit dan tangang
birah-mani; clan belgong yang merupakan untaian manik-manik. Kedua lengan
sampai ujung jari dihiasi dengan bermacam-macam gelang seperti ikel, gelang
iok, gelang puntu, gelang berapit, gelang bulet, gelang beramur, topong, dan
beberapa macam cincin sensim belah keramil, sensim genta, sensim patah paku,
sensim belilit, sensim keselan, sensim ku I. Bagian pinggang selain ikat
pinggang dari kain ketawak, masih ada tali pinggang berupa rantai genit rante;
clan di bagian pergelangan kaki ada gelang kaki. Unsur busana lain yang sangat
penting adalah upuh ulen-ulen selendang dengan ukuran relatif lebar.Busana adat perkawinan Gayo, mengetengahkan kekayaan teknik sulaman benang warna putih, merah, kuning dan hijau. Pakaian pria dikenal dengan sebutan baju Aman mayak, pakaian wanita disebut Ineun mayak.
Pengantin pria mengenakan bulang pengkah, yang sekaligus berfungsi tempat menancapkan sunting. Unsur lain adalah baju putih, tangang, untaian gelang pada lengan, cincin, kain sarung, genit rante, celana, ponok yakni semacam keris yang diselipkan di pinggang.
Sanggul sempol gampang dengan bentuk tertentu sempol gampang bulet dipakai pada saat akad nikah, dan ada bentuk lain sempol gampang kemang yang dipakai selama 10 hari setelah akad nikah. Sunting yang semacam mahkota itu merupakan susunan perca kertas minyak warna-warni sebagai simbol kebesaran atau keanggunan. Baju pria dan wanita clan celana pria biasanya berwarna hitam. Sedangkan kain sarung adalah semacam songket yang disebut upuh kerung bakasap.
Unsur pakaian yang diberi hiasan adalah upuh ulen-ulen, baju wanita baju kerawang, clan ketawak. Motif-motif hiasan yang selalu muncul pada ketiga unsur pakaian ini adalah: mun berangkat atau mun beriring (awan berarak), pucuk rebung (pucuk rebung), puter tali (pilin berganda), peger (pagar), matan lo (matahari), Wen (bulan). Motif mun berangkat merupakan simbol kesatuan atau kesepakatan; pucuk rebung bermakna ikatan yang teguh; puter tali bermakna kerukunan atau saling tenggang; peger bermakna ketahanan clan ketertiban; matan lo dan ulen adalah kekuatan yang menyinari alam semesta termasuk manusia itu sendiri.
Motif-motif di atas dijahitkan dengan benang berwarna putih, merah, kuning, dan hijau pada latar warna hitam pada selendang upuh ulen-ulen. Kecuali motif matahari clan bulan, motif-motif lainnya dituangkan pula pada baju wanita dengan latar hitam. Motif pada stagen ketawak berlatar kain warna merah muda atau merah bata. Belakangan latar kain tempat menuangkan motif tadi menjadi sangat bervariasi, tergantung pada selera penjahitnya, misalnya biru, kuning, merah, coklat clan lain-lain. Unsur pakaian itu bukan lagi untuk suatu upacara adat seperti perkawinan, tetapi dipakai dalam upacara yang bersifat resmi lainnya. Perkembangan ini ada kecenderungan sebagai memperkuat identitas atau kebanggaan etnik. Pakaian semacam itu dipakai para pejabat dalam menerima tamu terhormat yang datang dari luar daerah, misalnya menteri. Tamu terhormat itu pun disambut penari yang menggunakan “baju adat” baju ketawang dengan berselimut upuh ulen-ulen tadi. Biasanya tamu terhormat atau tamu – agung itu diselimutkan pula dengan kain adat upuh ulen-ulen berkualitas terbaik. Pemberian ini sebagai simbol rasa hormat yang tinggi sekaligus sebagai ungkapan penerimaan yang ikhlas dari masyarakat.Pada masa yang lebih akhir ini industri kerajinan kain bernuansa adat ini digalakkan oleh pemerintah setempat clan berkembang menjadi industri kerajinan rumah tangga. Motif-motif tadi tidak hanya dituangkan pada busana, tetapi sudah muncul pada kopiah, tas, dompet, taplak meja, bantalan kursi, clan lain-lain. Perkembangan ini dirasakan semakin memantapkan identitas budaya.
Hasil-hasil kerajinan yang muncul dalam berbagai item tadi, yang dikenal dengan kerawang Gayo kebetulan mendapat perhatian pada di luar Gayo. Hal itu menyebabkan tumbuhnya industri “Kerawang Gayo” di luar daerah Gayo, misalnya di Banda Aceh, Medan, Jakarta dan hasilnya muncul di berbagai toko cenderamata di berbagai kota di Indonesia.
Suku Gayo
Suku
Gayo bukan bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan
Aceh. suku Gayo adalah suku minoritas yang berbeda kebudayaannya dengan budaya
suku Aceh.
Suku
Gayo memiliki kerajaan yang berdiri sendiri dan dinamakan Kerajaan Linge.
Dimana Kerajaan Linge ini dibangun pada tahun 416 H / 1025 M di Buntul Linge
dengan raja pertamanya, Adi Genali atau yang dinamakan juga dengan Kik Betul,
yang mempunyai empat orang putra yaitu Sibayak Linge, Empu Beru, Merah Johan,
Merah Linge. Dimana Raja Linge I mewariskan sebilah pedang dan cincin permata
kepada keturunannya. Dimana cincin permata itu berasal dari Sultan Peureulak
Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (tahun 1012 M -1038 M). Ketika Adi Genali membangun
Kerajaan Linge bersama seorang perdana menteri Syeikh Sirajuddin yang bergelar
Cik Serule.
Cap resmi Kerajaan Linge (1287 H/1869 M)
Suku
Gayo atau urang (orang) Gayo adalah penduduk asli yang mendiami daerah: (Kabupaten
Aceh Tengah), (Kabupaten
Bener Meriah), (Kabupaten Gayo
Lues),
(Kabupaten
Aceh Timur). Generasi lebih tua sering menyebut suku ini
dengan sebutan Gayo Lut, Gayo Lues dan Gayo Serbejadi.
Gayo
Lut atau Gayo Laut mendiami hampir seluruh daerah yang berada dalam Kabupaten
Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Urang Gayo (Orang Gayo) saat ini banyak
yang merantau ke luar daerah asalnya, baik itu dalam wilayah Indonesia maupun
diluar negeri.
Bermacam motif ukiran kerrawang gayo